Beli Gengsi Lewat Thrifting
sumber; skripsigroup[.]com |
Pernah dengar kata monja? Di Aceh, orang-orang mengenal barang loak dengan sebutan monja. Tapi mungkin bisa berbeda di tempat lain, monja itu, ya, barang bekas, alias barang second, sejatinya adalah barang yang pernah dipakai orang lain. Biasanya merujuk pada barang-barang bekas dari luar negeri.
Sejak dulu monja memang sudah punya pasarnya sendiri, punya pembeli fanatik yang setia. Pencinta monja akan rela membongkar satu per satu gundukan barang demi menemukan apa yang mereka cari, ditemani aromanya yang khas. Entah aroma apa itu, mungkin sejenis zat antijamur yang dipakai untuk menjaga barang selama pengiriman.
Di Takengon, surganya monja adalah saat pacuan kuda. Lapak-lapak monja akan berjejer panjang dipadati pembeli. Nyaring suara penjual yang mayoritas suku Batak memanggil pembeli, mengalahkan pengeras suara pemandu pacuan kuda yang riuh. Dari dulu monja memang identik dengan inang-inang dari Medan, logatnya kental dan keras. Bicara saja bisa seperti berantem. Jadi jangan harap mendapatkan banyak keramahtamahan selama transaksi berlangsung. Sat, set, sot, semua berjalan cepat dan ringkas.
Tingginya peminat monja disambut antusias pedagang, tidak hanya saat pecuan kuda, kini orang-orang bisa menemukan monja di pekanan hari Jum'at. Masuk ke jalan Alfitrah terminal lama, terus ke arah bawah menuju danau. Kita akan menemukan lapak-lapak monja dadakan beralaskan terpal di sana. Lapak monja yang sudah punya kedai atau ruko juga ada. Remaja, ibu-ibu, bapak-bapak, semua sama antusiasnya di lapak monja, bersemangat mencari barang-barang yang menarik hati.
Saya bukan pencinta monja, tapi beberapa kali berhasil menemukan barang bagus di sana ternyata menimbulkan candu juga. Harga ekonomis, kualitas barang bagus, pun modelnya tidak seperti model kebanyakan di pasaran. Itulah nilai plus-nya, walau butuh kesabaran ekstra untuk bisa menikmati perburuan monja. Seperti mencari jarum dalam jerami. Bisa saja sudah bongkar-bongkar lama tapi tidak mendapatkan apa-apa.
Sejak pandemi menghantam seluruh sektor ekonomi, bisnis monja juga terkena dampaknya, terutama isu masuknya virus lewat pakaian bekas. Ini mengakibatkan pekan loak sepi seketika. Orang-orang waspada dan tidak banyak keluar rumah, apalagi berbelanja. Namun, ada kabar baiknya, saat ini justru karena pandemi pula barang bekas ini naik kelas, terutama seiring membaiknya kondisi pandemi.
Adanya rebranding yang dilakukan pada barang bekas ini, sampai muncullah istilah baru: Thrifting. Pada dasarnya barangnya masih sama, tapi sudah dilakukan perlakuan yang berbeda. Barang Thrifting ditampilkan lebih eksklusif, dipajang rapi layaknya barang baru, merek barang juga diekpos dengan baik, bahkan pakaian-pakaian di-laundry lebih dahulu. Tak lupa dipotret dengan teknik yang baik agar menarik untuk dijejalkan di pasar online. Sudah tidak terlihat lagi tumpukan barang-barang lusuh dan berdebu, semua sudah terlihat rapi dan semakin berkelas.
Tentu semua perlakuan ini tidak gratis. Penjual mengeluarkan biaya ekstra, juga energi dan waktu. Dengan kata lain, modal yang dikeluarkan lebih besar dari sebelumnya. Harganya tentu menjadi lebih tinggi. Jika dengan istilah monja harga barang berkisar antara 50-200 ribuan, maka barang thrifting bisa meroket tinggi di kisaran jutaan. Terutama dengan merek dan kualitas premium.
sumber; kompas[.]com |
Para pedagang sudah semakin pintar mengenal dagangannya, juga tak kalah cerdas dalam memasarkan. Persaingan pasar barang bekas tidak lagi dimainkan oleh pemain tua, tapi juga anak-anak muda yang punya selera tinggi dan pergaulan yang lebih luas.
Thrifting saat ini justru banyak dicari untuk membeli gengsi. Dengan modal lebih ekonomis dari harga baru, barang-barang bermerek bisa di bawa pulang. Tapi, ya, tetap mahal juga sepertinya untuk kantong orang biasa seperti saya.
Tren thrifting terus berkembang di kota-kota
besar. Bahkan di Pasar Senen Blok 3
Jakarta, saat ini sudah jadi sentral thrifting
paling populer. Ditambah merebaknya pasar online
yang semakin memanjakan para thrifter
di seluruh Indonesia, thrifting menjadikan
barang bekas sebagai fashion statement
baru di kalangan anak muda.
Memang sejauh ini, Takengon belum sampai pada level di atas. Masih mudah menemukan harga barang yang ramah kantong di pekan monja. Tapi satu yang pasti, tren ini akan dengan cepat bergerak. Tinggal menghitung waktu saja untuk sampai. Sebab perputaran ekonomi di Takengon juga terus meningkat. Terlihat semakin tingginya daya beli masyarakat, bukan sekadar kebutuhan pokok tapi juga kebutuhan sosialnya.
Fesyen memang sesuatu yang menarik, dan berputar dengan cepat. Tapi tetap ingat, membeli untuk kebutuhan jauh lebih baik dari sekadar memenuhi lemari dengan keinginan, apalagi sekedar membeli gengsi.[]
Karya: Fauraria Valentine (FLP Takengon)
Post a Comment