Urgensi Beut-Semeubeut Sebagai “Polisi” di Tengah Degradasi Moral Yang Membabi Buta

Penulis: Rahmat Aulia

Dalam Bahasa Aceh, pengajian disebut dengan istilah beut dan kegiatan mengajarkan ilmu agama disebut dengan seumeubeut. Jadi istilah beut-seumeubeut bisa dipahami sebagai kegiatan belajar dan mengajarkan ilmu agama.

Setiap hari selesai shalat subuh pada bulan Ramadhan, di Masjid Sibreh berlangsung pengajian yang diasuh oleh Tgk. H. Faisal Ali (wakil MPU Aceh) atau yang dikenal dengan Abu Sibreh. Pengajian yang sudah berlangsung beberapa tahun ini dimulai dari hari pertama puasa hingga akhir ramadhan.









Ada dua kitab utama yang dikaji pada ramadhan tahun ini, yaitu Ghazinatul Asrar dan Tanbihul Ghafilin. Selebihnya diisi dengan sesi tanya jawab ketika selesai surah kitab. Terkadang, sebelum membaca kitab, Abu menjawab beberapa pertanyaan yang masuk melalu SMS atau WA.

Sepengetahuan saya, selama Ramadhan, ada beberapa tempat di Aceh Besar yang aktif mengadakan pengajian, baik yang berlangsung di masjid, meunasah maupun dayah. Contohnya pengajian di Dayah Thalibul Huda Bayu yang diasuh oleh Syeikh Yasir dari Yaman,  atau pengajian ba’da subuh yang diasuh oleh Waled Ibrahim di Komplek Dayah Ulee Titi.

Dalam pikiran saya, Abu, Tengku atau ustadz bisa istirahat sebentar dari kegiatan Beut seumeubeut selama ramadhan. Biar lebih banyak waktu istirahatnya ketimbang hari biasa. Nyatanya beut seumeubeut tetap berlangsung selama bulan puasa.

Saya pernah menanyakan ke Zahrul, teman satu pengajian di Masjid Sibreh. Kenapa dia tidak pernah absen selama pengajian. Zahrul menjawab, dia malu jika absen, mengingat Abu sendiri selama puasa seumeubeut sampai beberapa tempat, belum lagi harus ngantor di MPU. Masak kita hadir di satu pengajian saja ogah-ogahan, jawabnya. Saya seolah disentil dengan jawabannya ini.

Pengajian yang biasanya selesai pada pukul tujuh pagi ini terbuka untuk umum, jamaah yang hadir dari berbagai kalangan dan umur. Namun dominan jamaah berusia paruh baya ke atas.

Setiap kali pengajian berlangsung, saya melihat jamaah aktif bertanya. Hampir tidak ada hari tanpa pertanyaan. Rata-rata pertanyaan adalah tentang hukum fikih. Melihat antusiasme jamaah, saya menaruh harapan, suatu saat Aceh akan berjaya dengan semakin baiknya pemahaman masyarakat tentang agama.

Ada yang menarik setiap kali ada pertanyaan, saya memperhatikan Abu begitu serius menyimaknya, sekalipun pertanyaan itu terkesan mudah jawabannya. Tapi Abu tetap serius memperhatikan dan menjawabnya. Sehingga tidak timbul rasa weuh hate penanya.

Saya rasa hal ini sangat erat kaitannya dengan adab, bagaimana kita menghargai lawan bicara. Bagaimana lawan bicara menjadi tidak malu ketika menanyakan sesuatu kepada kita. Lebih-lebih itu berkaitan dengan hukum agama.

Tiba-tiba saya jadi teringat dengan kisah seorang teman. Ceritanya, ketika masih menempuh pendidikan sarjana, saya mengambil mata kuliah agama. Mata kuliah ini masuk katagori mata kuliah umum dan diikuti lebih dari 40 mahasiswa dalam satu ruangan.

Saya lupa persisnya pertanyaan teman ini seperti apa. Namun yang membuat saya mengingat kejadian ini, walau telah berlangsung cukup lama adalah terkait respon si dosen. Bukannya menjawab, beliau malah meremehkan pertanyaan kawan saya tersebut, sehingga membuat seisi ruangan ketawa.

Setiap kali membayangkan kejadian tersebut, saya merasa cukup kasihan dengan teman ini. Betapa ia harus menanggung malu diketawai satu ruangan. Walau pada akhirnya dosen ini tetap menjawab. Namun apalah arti jawaban tersebut, ibarat pepatah Aceh, awai tasipak dudo ta gusuk, pane lom sijuk hate ka luka (duluan disepak baru dielus, mana mempan lagi, hati sudah duluan luka).

Pentingnya Beut Seumeubeut

Kesediaan para ulama ini mengisi kajian di beberapa tempat sekaligus di hari yang sama, sampai mengurangi jatah istirahat mereka, menandakan bahwa pengajian, menyampaikan ilmu agama adalah sesuatu yang sangat penting terkait keberlangsungannya.

Di tengah kondisi sosial yang tidak menentu. Berbagai macam kasus degradasi moral yang acap menyayat hati ketika mendengarnya, beut seumeubeut laksana polisi moral yang mencegahnya secara tidak langsung.

Dulu sebelum media belum terlalu akrab dengan kita, tindak kriminal seringnya hanya terdengar di Pulau Jawa. Namun, ketika media menjadi begitu dekat, laksana kulit dengan daging, berbagai kasus pilu nyaring terdengar di Aceh. Dimulai dari kasus narkoba, pemerkosaan, pembunuhan, pencurian dan sederet kasus kriminal lainnya. Bukankah sederet kasus ini belakangan begitu sering kita dengar terjadi di Aceh?

Kasus-kasus kriminal ini terjadi disekitar kita, di dekat tempat tinggal kita. Terkadang saya bertanya, apa yang salah dalam tumbuh kembang masyarakat kita, hingga banyak sekali terjadi kasus aneh-aneh.

Ketika seumeubeut, Abu sering bercerita fenomena sosial yang terjadi di masyarakat Aceh. Tujuannya untuk menjadi pembelajaran bagi kami semua. Seperti kasus seorang suami nekat menampar isteri yang tengah hamil dua bulan, gegara isterinya menyita handphone suami. Penyitaan yang dilakukan oleh sang isteri bukan tanpa alasan, ia kesal lantaran suaminya ketagihan bermain chip domino, hingga abai dari tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga. Pun, game ini sudah dinyatakan haram oleh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh.

Saya bergidik ketika mendengarnya. Bagaimana suami ini tega menampar isterinya yang tengah mengandung.

Kasus ini Abu ceritakan ketika kami mengaji kitab Tanbihul Ghafilin bab Rahmat dan Kasih sayang pada Rabu (5/5). Waktu itu, abu mengatakan, bahwa seseorang yang tidak beribadah maka tidak ada kasih sayang padanya. Kunci utama menghasilkan kasih sayang adalah ibadah.

Ibadah terutama shalat adalah bentuk penghambaan kita kepada sang pencipta. Ketika melaksanakan shalat, kita merendah kepada Allah, mengakui segala macam kelemahan yang melekat dalam jiwa. Lantas bagaimana orang yang mengakui kelemahan dirinya, berani menyakiti orang lain? Lebih-lebih itu adalah orang terdekatnya.

Lalu Abu melanjutkan cerita lainnya, “setiap tiga bulan sekali, kami dari MPU melakukan koordinasi dengan Polda Aceh. Membahas dinamika sosial di tengah masyarakat. Ketika membahas kasus KDRT, kami menemukan fakta bahwa kebanyakan suami yang melakukan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) adalah yang tidak melaksanakan shalat. Enggan beribadah. Itulah, orang yang tidak shalat, tidak dekat dengan agama jadinya tidak ada kasih sayang padanya. Mudah menganiaya.” Ujar Abu.

Serunya ngaji bersama Abu adalah setiap cerita yang disuguhkan, selalu berkaitan dengan bab yang tengah dikaji. Sehingga kita mudah membayangkan aplikasinya dalam kehidupan nyata.

Melihat berbagai kasus degradasi moral yang terjadi disekitar kita, pengajian ibarat “polisi” yang menjadi pencegah secara tidak langsung. Para ulama telah bahu-membahu, mengorbankan tenaga, biaya dan waktu demi jalannya pengajian.

Saya menaruh asa yang tinggi, beut-seumebeut menjadi salah satu prioritas pemerintah demi terwujudnya masyarakat Aceh yang carong, berakhlak serta bermoral.

Tidak ada komentar