Ruang Rawat Kelas Tiga

Aku memang tidak pernah berharap akan ada lagi acara menginap sekarang atau hari berikutnya di rumah sakit, tapi kalau seperti ini sudah keadaannya, aku pun harus bisa lapang dada. Kurang lebih setahun yang lalu, terjadi kecelakaan yang menyebabkan klavikula sebelah kanan suamiku patah dan harus dipasangi pen. Awal tahun ini, kata dokter sudah bisa dilepaskan. 


Aku merasa bersyukur dan beruntung bisa melihat hal-hal kecil yang membuat bahagia beberapa hari ini, saat harus kembali menginap di sal rumah sakit kelas tiga di awal tahun. Salah satu hal yang menyenangkan itu adalah menu kantin rumah sakit yang variatif. Walau terdengar tak nyambung, tapi catat sajalah begitu.


Ruang rumah sakit kelas tiga sebenarnya istimewa. Kita bertemu orang baru dan punya banyak waktu berkontemplasi. Aku selalu berbisik dalam hati, selamat menempuh ujian kenaikan kelas di fakultas kehidupan. Lalu, entah kenapa, aku bisa tiba-tiba merasa legawa dan bahagia. Mungkin ini yang disebut sudah menerima.


Apa istimewanya sal kelas tiga? Bagiku begitu banyak yang Allah berikan setiap kali kami harus menginap di 'hotel' tipe ini. Pertama, aku tentunya tidak sendiri, ada banyak tamu di kelas ini datang dari berbagai daerah, apalagi kami di rumah sakit umum terbesar di Aceh. Sebagian orang ingin ketenangan, istirahat tanpa ada gangguan di kiri kanan. Apalagi posisi kita saat sakit lebih sering terbaring, setiap orang butuh privasi, terlebih lagi individu introver semacam diriku. Mungkin di kelas ini, privasi semacam itu akan sulit kudapatkan, tapi aku bisa menjadikannya sebagai bahan latihan.


Kedua, kurasa aku butuh melihat ke bawah. Setiap kali sakit atau harus bersinggungan dengan rumah sakit, ada perasaan sedih dan terasing. Namun ada sisi yang menyenangkan bagi pribadi hermit sepertiku, seolah diberikan waktu untuk masuk ke dalam cangkang beberapa jenak.


Aku menikmati saat-saat menyusuri lorong-lorong sunyi atau beberapa sudut yang digelari tikar, lalu menyaksikan beberapa orang berselonjor sambil mengipas-ngipas wajahnya. Aku tak pernah dalam posisi mereka; menunggui salah seorang keluarga yang sakit di lorong-lorong ruang rawat, walau dalam aturan hanya dibenarkan satu atau dua saja yang mesti menunggui,  tapi aku juga tidak berhak menghakimi pilihan mereka untuk beramai-ramai menunggui.


Di kamar kelas tiga ada erangan, keluhan, bahkan makian yang terdengar dari sal sebelah. Aku mencoba memaklumi dan tidak terganggu dengan hal itu. Di seberang sal kami, ada remaja dengan patah disertai infeksi di bagian punggung. Beberapa kali dia mengerang, meurateb--ucapan berisi zikir-zikir--terkadang memohon maaf pada ibu dan ayahnya yang sedang menjaga di sebelahnya. 

Maaf kan aku, Mak, Yah, ujarnya sambil menyebut nama dirinya sebagai penguat pengakuan tulusnya. Ada dokter muda yang visite sambil memberikan motivasi, bercerita mengenai pengalaman sahabatnya yang punya sakit lebih parah dari si anak muda, tapi tak pernah kehilangan semangat. 


Di ruang rawat kelas tiga, bapak si anak muda memperhatikan sal kami terlalu mepet ke dinding, maka dia menawarkan bantuan menggesernya agar celah antara sal dan dinding terasa lebih lempang dan aku bisa menggelar tikar di sebelahnya.


"Digeser, Dek. Biar saya bantu. Ada kunci di bawahnya, bisa diangkat sedikit. Nah, bantu geser sebelah sana, ini kita kunci lagi, " terangnya tulus.


"Mau ke bank darah juga? Ayo, ikut Ibu. Ruangnya di bawah," ibu sebelah sal kami menawarkan bantuan.


"Makasih, Bu. Bapak sudah berapa hari di sini?"


"Sudah 10 hari dengan hari ini. Makanya Ibu sudah hafal betul ruangannya. Kemarin sebelum operasi, Bapak juga periksa darah di sana."


"Oh, begitu. Bapak sakit apa, Bu?"


"Biasa sudah tua, jatuh dari tempat tidur yang nggak terlalu tinggi, tapi tulang pinggulnya patah dan harus operasi. Ya, begitulah, mungkin karena usia juga. Sakit dan rewelnya itu yang bikin makin sulit." kata ibu itu tanpa bermaksud mengeluh. 


Aku sendiri melihat ketulusan dari matanya, mendengar ucapannya pada suaminya setiap kali terdengar keluhan sakit. Aku yang tidak suka mengobrol dengan orang baru mengucapkan kata-kata semangat dan doa, kulihat wajahnya semringah. Kata-kata semoga segera sembuh dan lekas pulang ke rumah seperti mantra ajaib yang menghibur.


Di ruangan kelas tiga, ada kamar mandi yang dipakai bersama. Ada musala kecil di seberangnya. Di sana aku sering bertemu orang-orang dengan sujud-sujud panjang penuh kerendahan diri. Tangan mereka tengadah dengan kesungguhan berharap. Ada rintih menyebut asma Allah yang melembutkan hati.


"Ya Allah, neu peu puleh ya, Allah. Supaya kami bisa berangkat ke masjid lagi..." aku bisa mendengar doa ibu di sebelah sambil membujuk dan menenangkan suaminya yang mengerang kesakitan. Keduanya sudah sepuh dan suaminya adalah tipe orang tua yang sangat rewel. Berteriak-teriak ketika analgesi berhenti bekerja, menarik-narik tali infus. Setiap kali suaminya berteriak, berputus asa, ibu itu menjawab dengan doa-doa. Menalkin suaminya dengan kalimat-kalimat tayibah.


Di kelas tiga, ada semacam aturan tak tertulis untuk saling menjaga. Apakah teman sebelah kita harus menyelesaikan keperluan mendesak yang membuat dia harus meninggalkan keluarga yang dijaganya beberapa menit, atau tetes infus terlihat terhenti dan hal-hal darurat lainnya. Bahkan ada kalanya saling bertukar makanan jika kedua belah pihak berkenan. 


Masih banyak yang ingin kuceritakan tentang ruangan kelas tiga di rumah sakit. Namun, teriakan perawat yang melongokkan wajahnya dari balik pintu ruang tunggu operasi mengurungkan niatku. 


"Keluarga Yudhi Aswad! Bapak sudah selesai, Bu. Tolong kain panjangnya. Baik. Saya antar ke kembali ke ruang rawat. Bapak dirawat di ruang mana? Baik, Bu. Mari ikut saya, ya. Kita ke ruangan Rontgen dulu."[]




5 komentar:

  1. Ma Syaa Allah...
    Baca tulisan Kak Aini jadi terkenang masa-masa merawat Abang, di ruangan kelas tiga juga, dua tahun lalu. Dapat sekali fell-nya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Dek Aini. Benar, di sana semacam laboratorium sosial mini kehidupan tinggal di desa. Sangat ramah, welas asih, saling menolong, dan penuh empati. Bukan seperti kehidupan kota yang cenderung nafsi-nafsi.

      Hapus
  2. Baca tulisan ini jadi keingat juga masa-masa praktik di RS dulu. Tiap selesai pasien di Operasi, pasti adek-adek perawat yg lagi magang disuruh angkat pasien. Pindahin dari ranjang operasi ke ranjang pasien yg ada di ruangan. Terus ngedorong pasien bareng keluarga sampai ke ruangan, hehe.

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Wah, iya, Nauval. Sebenarnya ada satu bab lagi yang ingin Kak Aini bahas: mengenai perawat di ruang kelas tiga. Masyaallah dedikasinya mesti diapresiasi, para manusia yang berhati malaikat.

    BalasHapus